Judul Buku : Negeri 5 Menara
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, Juli 2009
Tebal : 416 halaman
NEGERI 5 MENARA, novel karya A. Fuadi ini memperlihatkan betapa dominannya parameter non-artistik dalam menentukan kualitas dan kedalaman sebuah karya sastra. Sampul belakang buku itu sarat dengan endorsement yang ditulis oleh nama-nama beken, mulai mantan presiden, sutradara tersohor, gubernur, budayawan, intelektual, hingga pimpinan pesantren. Hampir semua komentar itu menyingkapkan segi-segi etik dan didaktik dari novel setebal 416 halaman tersebut. Tak ada satu pun ulasan dari sudut pandang estetika sastrawi. Apakah segi-segi estetik dan artistik yang sepatutnya menjadi kriteria utama dalam menimbang sebuah karya sastra tidak lagi penting?
Berkisah tentang upaya keras enam orang santri di sebuah pondok pesantren dalam menggapai obsesi dan cita-cita besar mereka. Setelah menghadapi kegiatan belajar-mengajar yang sedemikian padat dan aturan-aturan kedisiplinan ekstraketat di Pondok Madani (PM), Alif (Padang), Atang (Bandung), Raja (Medan), Dulmajid (Sumenep), Said (Mojokerto), dan Baso (Gowa) bersembunyi di bawah menara masjid PM, membangun mimpi-mimpi masa depan dengan mantra ampuh yang sama-sama mereka percayai; man jadda wajada (siapa yang bersungguh pasti akan sukses).
Alif tidak pernah mengira bahwa dirinya akan jadi santri PM yang disebut-sebut telah mencetak banyak ulama dan intelektual muslim itu. Sebab, sejak kecil dia ingin menjadi ''Habibie''. Baginya, Habibie tidak dalam arti seorang teknokrat genius, tapi sebuah profesi sendiri lantaran dia sangat kagum pada tokoh itu. Itu sebabnya, Alif ingin masuk SMA dan kelak melanjutkan pendidikan di ITB, sebagaimana riwayat perjalanan intelektual Habibie. Namun, ibunda Alif menginginkan anaknya mewarisi keulamaan Buya Hamka, ulama kondang yang lahir dan besar tidak jauh dari Bayur, tanah kelahiran Alif. Maka, dalam kebimbangan, Alif menerima tawaran itu sehingga dia bertemu dengan santri-santri berkemauan keras seperti Baso yang mati-matian menghafal 30 juz Quran sebagai syarat guna menggapai impiannya bersekolah di Madinah. Begitu juga Raja, Dulmajid, Said, dan Atang.
Hanya beberapa bulan waktu berbicara dengan bahasa Indonesia bagi santri-santri baru di PM, setelah itu mereka wajib berbicara dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Bila aturan dilanggar, ganjarannya tidak main-main. Bila tidak digunduli, sekurang-kurangnya bakal dapat jeweran berantai. Bahkan, bila pelanggarannya berat, santri bisa dipulangkan. Saking kerasnya kemauan para sahibul-menara untuk menguasai percakapan dalam dua bahasa asing tersebut, igauan dalam tidur mereka pun terungkap dalam bahasa Arab.
Dengan deskripsi ruang yang nyaris sempurna, A. Fuadi berhasil memetakan seluk-beluk dunia pesantren modern yang selama ini hanya menjadi cerita dari mulut ke mulut. Pahit dan getir, riang dan gamang kaum santri dengan humor khas pesantren ditandaskan dengan modus pengisahan yang menakjubkan. Tengoklah pelbagai alasan yang sengaja dirancang sahibul-menara agar mereka beroleh izin keluar PM, bersepeda mengelilingi Kota Ponorogo, dan tak lupa melintas di pintu gerbang pesantren putri, sekadar ''nampang''.
Begitu pula siasat Dulmajid yang memengaruhi ustad Torik agar beroleh izin nonton bareng pertandingan final bulu tangkis di lingkungan PM, padahal qanun (aturan pondok) menegaskan, santri PM dilarang menonton TV. ''Ustad, lob antum itu mirip sekali dengan punya Icuk dan smes antum mirip Liem Swie King. Kalau nggak percaya, kita tonton siaran langsung besok malam.''
Ustad Torik langsung takluk dan terjadilah peristiwa bersejarah itu: TV masuk PM. Lewat satirisme khas kaum santri itulah, segi-segi estetik novel tersebut dapat ditandai hingga martabat kenovelannya tidak semata-mata ditakar dengan nilai didaktik dan etik saja. Bukankah jalan sastra adalah ikhtiar merancang sebuah alegori dari pelbagai realitas faktual yang menjadi panggilan penciptaan pengarangnya? Maka, kerja pemaknaan terhadap teks novel tak segampang sebagaimana yang dilakukan para komentator novel tersebut. Bahwa kemudian ditemukan tendensi-tendensi didaktik, itu kenyataan yang tak bisa dielakkan karena setiap pembaca berhak menafsirkannya sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Tak dimungkiri bahwa di balik kisah yang digarap A. Fuadi dalam buku ini, ada pengalaman empiris, katakanlah semacam fakta-fakta keras semasa pengarang mondok di Gontor yang menjadi muasal pengisahannya. Tapi, dalam kerja kepengarangan, fakta-fakta keras itu digiling sehalus-halusnya oleh imajinasi sehingga tidak bisa lagi dilihat dengan kacamata hitam-putih, tidak bisa diukur secara positivistik. ''Imajinasi'' di sini bukan dalam pemahaman yang menyehari. Filsuf Arab Al-Farabi (850-950) dalam kitabnya, Ara' Ahl Madinah Wa Al-Fadhilah, menyebutnya quwwatul muttakhilah, semacam potensi dalam subjek, yang berpijak pada pengalaman empiris dan penalaran (reasoning), sehingga ia sangat berbeda dengan ''fantasi'' -yang tidak perlu berangkat dari pengalaman indrawi, apalagi penalaran. Dalam epistemologi Al-Farabi, ''imajinasi'' dalam batas-batas tertentu bahkan dapat melampaui pencapaian akal-budi dan pengalaman empiris itu sendiri.
Maka, dunia imajiner dalam Negeri 5 Menara bukan lagi semata-mata dunia A. Fuadi dan sejawat-sejawatnya semasa di Gontor. Kisah yang disudahi pengarang dengan reuni bersejarah di Trafalgar Square, London, -setelah 15 tahun masa-masa sulit di PM berlalu- telah terdedahkan sebagai ruang fiksional dengan segenap kemungkinan tak terduga yang menyertainya. Bukankah Alif (Washington DC), Atang (Kairo), dan Raja (London) yang bertemu pada sebuah konferensi di London tidak pernah terbayangkan sebelumnya? Mereka tak pernah menyangka para sahibul-menara bakal menggenggam impian masing-masing. Yang mereka tahu hanya man jadda wajada, siapa bersungguh-sungguh, bakal sukses. (*)
Damhuri Muhammad, Cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 18 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar